Minggu, 28 Oktober 2012

Sandiwara Klasik Kepadanya, Wanita


Annisa El Aisnada30.08.2012
Ini paradigma
Sebuah peperangan antara seorang saja
Tak hidup dengan logika
Sialkulah ini nyata
Bukan sebuah karya seni semata
Bukan sajak yang hina isinya

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
Kepada api yang menjadikannya abu
Abu, hanya tersisa abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
Kepada hujan yang menjadikannya tiada
Tiada yang membawa embun tiba

Embun yang pasi nampak pucat tak berwarna
Bukan merah yang menjadikan bergairah
Dia tak juga sehangat jingga
Namun beku yang cair
Tak ternoda oleh cerah kuning
Ataupun kesegaran hujau yang tampak jelas bukan warrnanya
Embun membawa pada tenang
Kala abang fajar lagi mulet dari tidurnya jikan dan hanya jika dia tak kunjung biru
Butir-butirnya pun tak dapat kau sebut dia putih
Embun itu bening, pasi, tak dianggap bagus
Bening bukan warna
Karnanya, embun tak butuh warna untuk membuat jatuh cinta
Dia sederhana dan apa adanya
Walau terlihat dari jauh nampak abu-abu

Ah!
Jelek! Aku suka rainbow!

Hey,
Tak seperti pelangi yang memiliki tujuh spectrum warna
Sungguh sedap dipandang, asupan nutrisi bagi si bola mata
Tapi cobalah memperpendak jarakmu dengannya
Maka panas yang kau dapat dari cahaya yang terbias itu

Hey,
Lihat yang buruk rupa di sana!
Semakin dekat,
Semakin sejuk,
Semakin bening,
Semakin tenang yang kau rasa

Dasar bernasib kota apel!
Itu hanya jenaka
Hanya inginku begitu
Tak bertopeng seperti lagu Noah
Sajakku kubakar seketika diatas tumpukan bangkai tikus
Yang aku tau Scooby doo menunggu untuk daging panggang di atas piring makan malamnya,
Menatap semua tak begitu adanya
Tercengang dan terasa seperti hordo tingkat badai
Hanya betah mengintip jika inilah saatnya aku beriman pada rukun iman

goblok!
Apakah memang cinta yang telah mengirim seorang perempuan muda ke jalan sesat?
Apakah kau percaya pada arwah gentayangan yang ada dan tiada di sekitar istana?
Apakah kau percaya ada yang baunya sengit ada yang membusuk di sekitarmu?

Jika aku,
Aku tak akan lagi pernah mendengar
dan mungkin juga tak peduli banyolan dua penggali kubur
Di pinggir liang lahat yang akan menganga siap menerima masa lampauku

Aku lebih memilih bergegas pengen buru-buru pulang
Menonton kisah gadis solehah
Agar bisa ikut mengusut rangkaian pertanyaan sederhana
Yang tak ada kaitannya dengan celoteh dua badut itu

“shit-netron? Untuk apa?”
Aku tau itu hanya drama sandiwara klasik yang bodoh untuk dicerna logika
Tapi aku merasa hal bodoh itu dapat menjadi guru
Dari orang yang lebih bodoh darinya
Mengenai sebuah darma komedi haru ini

Bahwa aku memang tak paham
Makna cinta yang hanya kukumur-kumur tak pernah masuk tenggorokanku

Bahwa aku memang tak paham
Tkasak-kusuk sebelum ku masuk ke perhelatan agungyang tak seharusnya
Tapi yang ternyata seharusnya melibatkanku

Bahkan paham aku pun tak juga hingga ku mengerti
Bahwa adu pedang itu permainan yang lebih perkasa
Daripada sandiwara segala akal-akalan cerdik si kancil

Padahal hanya dalam sandiwara hidup berupa tanda tanya
Apakah benar itu umpatan ketika terdengar ucapan?
Terbaca pada sebuah naskah siti nurbaya
“Wahai, Perempuan, kaulah kaum ringkih itu. Sudah ringkih kau masih tolol”
Selebihnya senyap-sunyi semata


Tidak ada komentar:

Posting Komentar