Annisa El Aisnada30.08.2012
Ini paradigma
Sebuah peperangan antara seorang saja
Tak hidup dengan logika
Sialkulah ini nyata
Bukan sebuah karya seni semata
Bukan sajak yang hina isinya
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Tiada yang membawa embun tiba
Embun yang pasi nampak pucat tak berwarna
Bening bukan warna
Karnanya, embun tak butuh warna untuk
membuat jatuh cinta
Ah!
Hey,
Hey,
Dasar bernasib kota apel!
goblok!
Apakah kau percaya pada arwah gentayangan
yang ada dan tiada di sekitar istana?
Apakah kau percaya ada yang baunya sengit
ada yang membusuk di sekitarmu?
Jika aku,
Aku tak akan lagi pernah mendengar
dan mungkin juga tak peduli banyolan dua
penggali kubur
Di pinggir liang lahat yang akan menganga
siap menerima masa lampauku
Aku lebih memilih bergegas pengen
buru-buru pulang
Menonton kisah gadis solehah
Agar bisa ikut mengusut rangkaian
pertanyaan sederhana
Yang tak ada kaitannya dengan celoteh dua
badut itu
“shit-netron? Untuk apa?”
Aku tau itu hanya drama sandiwara klasik
yang bodoh untuk dicerna logika
Tapi aku merasa hal bodoh itu dapat
menjadi guru
Dari orang yang lebih bodoh darinya
Mengenai sebuah darma komedi haru ini
Bahwa aku memang tak paham
Makna cinta yang hanya kukumur-kumur tak
pernah masuk tenggorokanku
Bahwa aku memang tak paham
Tkasak-kusuk sebelum ku masuk ke
perhelatan agungyang tak seharusnya
Tapi yang ternyata seharusnya melibatkanku
Bahkan paham aku pun tak juga hingga ku
mengerti
Bahwa adu pedang itu permainan yang lebih
perkasa
Daripada sandiwara segala akal-akalan
cerdik si kancil
Padahal hanya dalam sandiwara hidup berupa
tanda tanya
Apakah benar itu umpatan ketika terdengar
ucapan?
Terbaca pada sebuah naskah siti nurbaya
“Wahai, Perempuan, kaulah kaum ringkih
itu. Sudah ringkih kau masih tolol”
Selebihnya senyap-sunyi semata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar